Dari Mana Datangnya ‘Secara’?

Senin, 13 April 2009

Sebuah komentar mampir di blogku. Isinya begini: ‘Dari mana tu dapat gambarnya, secara itu kan foto jadul...” Atau bila kadang Anda mendengar bahasa di sinetron atau ucapan artis di infotainment. “Kenapa gue harus minder sama dia, secara gue kan lebih cantik...” Atau: “Secara aku kalau syuting kan sampai malam ....”

Kalau Anda pada mulanya merasa tidak nyaman dengan penempatan kata ‘secara’ yang janggal tersebut mungkin Anda tidak sendiri. Sudah sejak beberapa tahun belakangan ini kata gaul ‘secara’ bertebaran di kalangan anak muda, dan sekarang mewabah ke mana-mana.

Sebagaimana sebuah trend penggunaan bahasa gaul selalu berkembang dari waktu ke waktu. Bahasa gaul biasa berkembang di kalangan anak muda. Tidak jelas penciptanya alias anonim, bahasa gaul kemudian menyebar bagai wabah, ke seluruh penjuru negeri. Dan anak muda pun ikut-ikutan mengkonsumsinya agar mereka tidak dituduh ketinggalan jaman. 

Bahasa gaul selalu berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Tentu kita masih ingat dengan ‘so what gitu lhoh’, ‘capek dehh’, ‘kasian deh loo.’ Namun penggunaan kata-kata gaul tersebut tidak akan mempengaruhi makna suatu kata karena memang penggunaannya tidak menggantikan suatu arti kata tertentu. Berbeda dengan kata ’secara’ yang penggunaannya memang menyalahi kaidah bahasa, karena memperkosa makna yang sebenarnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘secara’ berasal dari kata cara. Artinya antara lain: 1) sebagai; selaku, seperti pada contoh: “... hendaklah kamu bertindak secara laki-laki...” 2) menurut (adat, kebiasaan), Contoh: “...perkawinan akan dilangsungkan secara adat keraton...” 3) dengan cara; dengan jalan; Contoh: “...perselisihan itu akan diselesaikan secara damai..”; 4) dengan; Contoh: “... hal itu diuraikan secara ringkas...”

Coba bandingkan, betapa jauh dengan arti ‘secara’ dalam bahasa gaul. Penggunaan kata ‘secara’ dalam bahasa gaul itu hampir selalu dirangkaikan dengan subjek (aku, kita, gue). Di sini kata ‘secara’ sangat tidak bisa bila digantikan dengan salah satu padanan kata yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Coba saja, kata secara dalam “Kenapa gue harus minder sama dia, ‘secara’ gue kan lebih cantik...”, tidak pas bila diganti dengan kata: sebagai, selaku, dengan... Tapi bila kata secara itu dihilangkan maka penekanannya akan terasa kurang. Jadi mungkin ‘secara’ di sini hanya untuk penekanan saja. 

Sebenarnya penggunaan bahasa gaul dalam bahasa informal tidak ada salahnya. Toh penggunaanya hanya terbatas di forum-forum tidak resmi yang sebenarnya akan memperkaya khasanah bahasa Indonesia kita. Sebab bahasa senantiasa akan berubah dan bertambah seiring dengan perkembangan dan kemajuan bahasa. Pergaulan lintas batas akan mempengaruhi penggunaan bahasa. Pengaruh bahasa asing ataupun dari bahasa daerah akan semakin menambah khasanah koleksi lema dalam bahasa kita.

Read more...

Kampanye, yang Penting Goyangnya

Minggu, 05 April 2009

Hingar bingar masa kampanye berakhir sudah. Tak ada lagi kerumunan massa, konvoi di jalanan yang memacetkan dan memekakkan telinga. Tak ada lagi pidato berbusa-busa para caleg yang berjanji akan membawa perubahan. Tak ada lagi hiburan rakyat, dan tak ada lagi tontontan dangdut gratis.

Faktanya adalah para peserta kampanye tidak semuanya menikmati acara pemaparan visi dan misi para caleg, atau pidato kandidat yang mengecam pejabat sekarang seakan dia lebih baik. Rakyat kecil justru lebih menikmati sesi hiburan, apalagi kalau bukan musik dangdut. 

Pada masa kampanye para artis dangdut kebanjiran order di mana-mana. Tidak hanya artis kelas atas, tapi juga artis yang selama ini bermain di level sunatan, hajatan, atau pesta kawinan. Bedanya hanyalah, artis-artis tenar hanya mampu ditanggap oleh partai-partai besar dengan budget besar, sebab sudah tentu mereka memasang tarif premium, lebih mahal dari hari-hari biasa. Sementara untuk partai gurem tentu saja harus puas dengan artis-artis lokal dengan tarif yang lebih damai.

Di sini terjadilah hubungan simbiosis mutualisme. Di satu sisi para jurkam membutuhkan kehadiran artis-artis untuk memberikan hiburan bagi peserta kampanye, sekaligus merupakan daya tarik kampanye. Di sisi yang lain para artis juga merasa senang sebab otomatis penghasilan mereka akan bertambah.

Namun ternyata tidak ada artis yang loyal kepada satu partai saja. Suatu saat suatu artis akan terlihat bersama partai A namun bisa jadi esok hari dia sudah bernyanyi-nyanyi dan berteriak kepada massa untuk mencontreng partai B. Tentu saja para artis tidak akan perduli, partai apa pun boleh menanggap mereka, sebab tugas mereka hanya menghibur massa, setelah itu terima bayaran. 

Lalu lihatlah mereka bergoyang dengan erotis menggoda penonton. Dengan pakaian yang sudah tentu seksi, mereka bergoyang sambil sesekali berseru kepada masa agar tanggal 9 April nanti tidak lupa untuk mencontreng partai yang menyewanya. Lalu mereka pun disambut histeris oleh massa.

Dari segi hiburan memang kehadiran para artis terbukti menarik massa untuk hadir di arena kampanye. Sajian goyangan nakal artis dangdut merupakan magnet yang membuat massa rela berpanas-panasan hingga acara usai. Namun demikian belum tentu kehadiran mereka mampu menarik simpati massa untuk memilih partai tersebut.
Lalu mereka bergoyang lagi, perkara mereka nanti mau mencoblos apa atau siapa, itu soal nanti.

Read more...

Wisata Bencana, Menikmati Penderitaan Sesama

Jumat, 03 April 2009


Musibah jebolnya waduk Situ Gintung yang menewaskan lebih dari 100 orang akhir Maret lalu menyita perhatian masyarakat seluruh negeri. Presiden dan Wakil Presiden juga menyempatkan untuk meninjau lokasi musibah di sela-sela masa kampanye. Tak ketinggalan parpol-parpol kontestan Pemilu 2009 segera mengucurkan bantuan meski juga diembel-embeli atribut kampanye.


Dan seperti biasanya setiap kejadian besar selalu menyita perhatian dan rasa ingin tahu masyarakat. Didorong oleh rasa penasaran itulah yang rupanya menarik masyarakat untuk berbondong-bondong menyaksikan lokasi bencana, seolah-olah sedang menyaksikan suatu hiburan yang sungguh menarik. Dan rupanya hal itu tidak berlaku hanya pada musibah Situ Gintung saja karena di setiap peristiwa besar tidak luput dari serbuan ‘wisatawan lokal’ yang ingin menyaksikannya. Begitu juga yang terjadi pada saat musibah tsunami besar di Aceh, gempa di Yogya dan Klaten atau pun tragedi lumpur Lapindo beberapa tahun silam, atau pada peristiwa-peristiwa kecil misalnya tabrakan atau kecelakaan lalu lintas. 


Kedatangan massa di setiap musibah bencana tentu saja hal yang tidak diinginkan. Sebab mereka kebanyakan datang hanya untuk melihat-lihat kondisi bencana saja, bahkan terkadang hanya untuk berfoto-foto atau sekedar nampang dengan latar belakang kekacauan setelah suatu musibah. Tentu saja hal tersebut sangat tidak etis, karena di saat tersebut warga yang terkena musibah sedang kesusahan karena ditinggal anggota keluarga atau membutuhkan bantuan akibat kehilangan harta benda.


Selain itu wisata bencana juga merugikan pihak-pihak yang terkait. Kedatangan massa yang menonton acapkali menyulitkan para petugas atau sukarelawan yang sedang bekerja melakukan evakuasi atau menyalurkan bantuan. Belum lagi pada suatu peristiwa criminal mereka kadang malah menyebabkan kerusakan di sekitar tempat kejadian perkara (TKP) karena seringkali mereka menerobos garis police line yang sudah dipasang petugas kepolisian.


Merebaknya wisata bencana di negeri ini akibat masyarakat kita yang terbiasa menyukai hal-hal yang berbau dramatis di samping keingintahuan mereka terhadap suatu peristiwa sebagai akibat dari kejadian tersebut yang di-blow up secara terus menerus oleh media massa. Selain itu paradigma bad news is good news rupanya juga masih terbukti di sini. Dan tidak hanya di Indonesia, di negara-negara maju pun setiap suatu kejadian besar pasti segera menarik perhatian. Seperti ketika terjadi peristiwa 11 September di Amerika Serikat beberapa tahun silam, segera diikuti oleh kenaikan oplah surat kabar yang segera mewartakan kejadian tragis tersebut sebagai head line. Hal itu diikuti juga oleh kenaikan rating acara-acara berita di televisi yang menjadikan kejadian tersebut sebagai sajian utama berita.


Sebagai akibat dari pencitraan di media massa tersebutlah kemudian yang mendorong masyarakat untuk mendatangi secara langsung lokasi sebuah bencana. Dan mereka ingin menjadi saksi secara langsung terhadap suatu peristiwa besar sehingga seakan mereka telah menjadi bagian dari peristiwa tersebut. 


Hanya saja mungkin kita lupa bahwa pada saat itu mereka, saudara-saudara kita tersebut sedang membutuhkan bantuan dan bukan untuk dijadikan tontonan.

Read more...

About This Blog

tentang fikiran, ucapan dan tindakan saya

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP